Bijak Menerima Kemenangan dan Kekalahan dalam Pilkada NTB 2018

Rabu, tanggal 27 Juni 2018 kemarin menjadi hari bersejarah bagi 171 daerah se Indonesia, 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten. Digelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Sebuah suksesi kepemimpinan  untuk periode lima tahun kedepan, 2018-2023.

Menyambut pesta demokrasi akbar ini, sudah pasti banyak sekali pengorbanan yang telah dilakukan tim-tim pemenangan memperjuangkan pasangan calon (Paslon) masing-masing. Kesempatan kampanye yang terbilang terpanjang dalam sejarah perhelatan Pilkada ini diisi dengan beragam bentuk dan cara guna meraup simpati para pemilih. Selama masa kampanye, surat–surat kabar penuh dengan pemberitaan, iklan-iklan televisi juga menjadi lahan yang subur untuk berkampanye. Media sosial tak pernah sepi dari tayangan-tayangan gambar yang mengajak untuk memilih.

Dalam kampanye, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang maju semuanya menginginkan kemenangan. Semua ingin tampil sebagai  calon kepala daerah terpilih. Kesuksesan meraup kemenangan itu tentunya membutuhkan strategi tersendiri. Tidak hanya dari usaha keras dari paslon,  tapi pengorbanan dari tim pemenangan dan para pendukung setia. Strategi kampanye dari calon pasangan kepala daerah juga tidak lepas dari segala ide dan usaha tim suksesnya.

Pilkada adalah hal yang biasa terjadi dalam lima tahun sekali. Pilkada berlangsung dengan sebuah harapan besar ke depan bisa jauh lebih maju dari sebelumnya. Hal tersebut tergambar dalam visi dan misi dari pasangan calon. Gambaran visi dan misi ini idealnya menjadi dasar untuk masyarakat menggunakan hak pilihnya.

Selama masa kampanye ini pula, terlihat tidak ada yang tidak semangat mewujudkan kemenangan. Sangat wajar semua pasangan calon dan tim pemenangan mengklaim kemenangan karena tujuan maju adalah untuk meraih kemenangan. Tidak jarang kerap terjadi perang survei di masa-masa kampanye sebagai salah satu strategi menjatuhkan lawan.

Pilkada ini ibaratnya juga sebuah kompetisi. Namanya kompetisi yang menjadi pemenang itu adalah yang paling unggul. Kompetisi dalam pengertian pesta demokrasi ini adalah pasangan calon yang meraup suara terbanyak. Terbanyak menjadi pilihan rakyat. Karena memang yang menjadi Gubernur itu satu orang, Wakil Gubernur itu juga satu orang. Bupati itu pun satu orang, wakil Bupati itu juga satu orang. Walikota dan Wakil Walikota tidak bisa dua pasangan.

Dibalik itu, yang paling sedikiit mendapat coblosan rakyat pemilih harus rela dengan sebutan kalah.  Tidak terpilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus disambut pula dengan penuh keikhlasan.

Dua opsi besar, kalah dan menang adalah hal yang sangat lumrah dalam Pilkada. Hanya saja memang acap kali sejarah mencatat terjadinya riak dibalik kekalahan pasca penetapan kemenangan. Tidak jarang tim-tim pemenangan dengan klaim sudah mengantongi suara kemenangan melakukan protes keras.

Persaingan politik ini acap kali menimbulkan konflik. Harus diingat,  ingat kehidupan demokrasi di Indonesia telah  lama. Kedewasaan berdemokrasi ini sedianya menjadi rambu-rambu di dalam melakukan tindakan-tindakan politik yang baik dan benar.

Sebelum massa kampanye diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengajak semau pasangan calon untuk mendeklarasikan diri siap menang dan siap kalah. Sikap siap kalah dan siap menang ini akan melahirkan sikap dan pandangan Paslon bersama dengan tim pemenangannya masih-masing untuk menerima segala keputusan final nantinya.

Perseturan pasca Pilkada kerap berujung hingga ke proses gugatan ke Mahkamah Konstitusi   (MK).  Seperti yang terjadi di tahun 2017 lalu di Kabupaten Intan Jaya Papua. Hal tersebut akibat sengketa tentang keputusan menang dan kalah Paslon Pilkada. Meski telah ada surat putusan dari MK, namun pihak yang kalah belum bisa menerima keputusan tersebut. Aksi protes pihak yang kalah berujung pengrusakan kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Dari pengalaman tersebut, Pilkada serentak 2018 ini  pemerintah  lebih meningkatkan upaya  pencegahan konflik. Perlu adanya pemetaan yang jelas terhadap daerah-daerah rawan konflik. Selain itu juga, partai politik dari pasangan calon yang didukung oleh partai politik dan tokoh masyarakat pendukung calon idependen diharapkan membantu mengedukasi masyarakat tentang budaya demokrasi.

Munculnya konflik selama ini karena sikap mental yang hanya menerima kemenangan saja dan tidak ikhlas menerima kekalahan. Kerangka ideal dalam berdemokrasi, semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi harus ikhlas menerima kemenangan pun rela hati menrima kekalahan atas pasangan calon kepala daerah yang belum ditakdirkan terpilih sebagai pemenang. Sikap mental yang siap menang dan siap kalah perlu menjadi sebuah kesadaran kolektif.  Sikap tersebut diharapkan dapat membawa suasana politik yang aman dan damai pasca Pilkada. Dengan demikian, riak konflik bisa diminimalisir. Jalankan roda politik secara jujur tanpa adanya kecurangan juga bagian dari sikap siap menang dan kalah dalam Pilkada.

Kebijaksanaan dari Paslon dan para pendukungnya dalam menghadapi kemenangan maupun kekalahan akan menciptakan situasi politik yang damai. Semua pasangan calon diketahui memiliki visi-misi yang  baik. Tidak ada satu visi dan misi pun yang buruk. Fakta ini sejatinya memperlihatkan semua calon-calon kepala daerah adalah orang-orang yang sangat bijak dan arif dalam mengikuti Pilkada.

Lahirnya konflik semata karena ada riak-riak yang menjadi pemicu. Isu-isu dugaan pelanggaran, money politic dan isu negatif lainnya harus ditanggapi dengan sikap kedewasaan berpolitik. Pemenang menghadapi kemenangan dengan tidak terlalu menonjol-nonjolkan diri atau sengaja memancing-mancing emosi dari pendukung yang kalah.

Menang dalam Pilkada sejatinya telah melahirkan masalah baru karena beban besar sebagai kepala daerah dipercayakan dari rakyat. Pemenang Pilkada ini harusnya memiliki anggaran bahwa ada masalah untuk mewujudkan janji-janji politik yang dituangkan dalam visi misi selama kampanye.

Amanah besar sebagai calon terpilih dipundak. Kenyataan menang ini harus dihadapi bukan dengan luapan kesenangan yang berlebihan. Sedangkan bagi yang kalah dalam Pikada, kiranya bukanlah sesuatu petaka meski pengorbanan dalam perjuangan begitu besar. Selanjutnya, kalah bukan kemudian terisi dengan hujatan dan melahirkan konflik dan perlawanan terhadap pihak yang menang.

Siapapun paslon yang menang dan siapapun  yang kalah sudah menjadi suratan dari sang Kuasa. Tuhan yang maha mengetahui dan maha penentu siapa yang diberikan amanah dan yang belum diberikan amanah. (*)

Oleh Syarifudin, LC, MA

(Alumni Al Azhar Cairo University Mesir/Pemerhati Masalah Sosial Politik di NTB)