Gerakan #2019GantiPresiden: Upaya Makar Konseptual Dan Kebangkitan Khilafah

Kita tentu telah mendengar slogan #2019gantipresiden. Slogan tersebut dikeluarkan dari ide seorang politisi PKS yaitu Mardani Ali Sera selaku Sekjen Partai Keadilan Sejahtera pada acara ‘Indonesia Lawyers Club’. Mardani bukan orang baru dalam gerakan semacam ini. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, ia dipercaya sebagai Ketua Tim Sukses calon gubernur dan wakil gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Berkat perannyalah  Kemenangan Anies–Sandiaga dapat terwujud.  Menurut Mardani, esensi dari gerakan ini adalah lebih pada sebagai “wake up call” bagi umat Islam di Indonesia, dimana naik turunnya suatu negara itu tergantung dari kepemimpinannya.

Selain mardani, gerakan tagar#2019gantipresiden juga dinisiasi oleh kalangan masyarakat yang berasal dari tokoh Islam seperti Eggi Sujana dan Neno Warisman yang merupakan salah satu tokoh dalam Aksi Bela Islam 212. Mereka sering terlihat dalam rangkaian demonstrasi di Pilkada Jakarta dan sangat  getol membela Rizik Syihab dalam kasus dugaan chat berkonten pornografi. Berbeda dari Mardani, menurut mereka gerakan tersebut bukan ditunggangi oleh muatan politik yang ingin menggulingkan Presiden Jokowi, namun lahir dari keinginan masyarakat untuk mengganti pemimpin terlepas siapapun itu. “Kami ini hanya bilang ganti presiden. Siapa yang mengganti, kami belum tahu,” katanya dikutip dari harian tirto.id.

Gerakan #2019gantipresiden yang digagas oleh para tokoh islam garis keras tersebut telah menimbulkan beberapa permasalahan di masyarakat. Salah satu contohnya, dalam Pilkada serentak di Provinsi Jawa Barat telah mampu menimbulkan keributan, bahkan hampir saja  menimbulkan konflik dikalangan elit parpol karena salah satu calon yang diusung oleh PKS dan Partai Gerinda dengan jargon asyik melontarkan slogan #2019gantipresiden saat debat kandidat. Permasalahan tersebut bahkan sempat dilaporkan ke pihak berwenang seperti KPU dan Bawaslu namun dikategorikan bukan pelanggaran. Contoh lainnya ibu Susi Ferawti dan anaknya yang mendapatkan intimidasi dari kelompok orang yang menggunakan kaos#2019gantipresiden yang dipimpin oleh Iwan Firdaus dan teman-temannya di sekitar Bundaran HI, Jakarta, pada Minggu, 29 April 2018. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh kaos yang digunakan oleh Ibu Susi yang bertuliskan #diasibukkerja yang merupakan antitesa dari gerakan #2019gantipresiden. Selain itu, terselenggaranya deklarasi akbar#2019gantipresiden di NTB, jika jadi dilaksanakan, berpotensi dapat mempertajam polarisasi antara kelompok masyarakat serta memperkeruh situasi dan dinamika politik menjelang tahapan Pilpres 2019.

Upaya Makar dan Pelanggaran Konstitusional

Melihat dari akibat dan masifnya gerakan tersebut maka muncul sebuah pertanyaan apakah gerakan #2019gantipresiden merupakan sebuah tindakan makar atau merupakan tindak pidana pemilu? untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dijelaskan bahwa pengertian makar adalah perlawanan terhadap pemerintahan yang syah dengan maksud untuk menjatuhkan pemerintahan atau menentang kebijaksanaan yang sudah menjadi ketetatapan dengan melawan hukum, baik melalui kekuatan senjata maupun dengan kekuatan lainnya atau dengan cara lain. Makar biasanya dilakukan secara masif dan terorganisir. Jika ada orang atau kelompok yang melakukan tindakan tersebut, maka dapat dimasukkan dalam tindak pidana. Hal tersebut telah dijelaskan dalama pasal-pasal yang ada dalam KUHP khususnya pasal 106, 107,108,109 dan 110 tentang Makar dimana dalam satu pasalnya mengatakan bahwa makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pemimpin dan pengatur dalam makar tersebut diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.

Menurut Hakim konstitusi, Suhartoyo delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan terpenuhinya syarat itu, pelaku telah dapat diproses secara hukum oleh penegak hukum. “Demikian pula halnya pendapat bahwa perbuatan pelaksanaan yang tidak sampai selesai bukan atas kehendaknya sendiri atau delik percobaan,” ujarnya dikutip dari harian tempo. Suhartoyo menjelaskan, hal ini sudah masuk pengaturan dalam Pasal 87 KUHP dimana pelaku tindak pidana makar dapat dijerat sepanjang telah memenuhi Pasal 87 KUHP atau memenuhi percobaan makar, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP.Jika melihat akibat, tujuan dan aktor-aktor yang ada didalam gerakan tersebut apakah sudah memenuhi pasal-pasal dalam KUHP makar atau tidak, jika sudah memenuhi maka patutlah, justifikasi bahwa gerakan tersebut termasuk dalam kategori makar namun jika masih kurang maka bisa masuk dalam level gerakan yang harus diwaspadai. Apalagi gerakan ini banyak menggunakan sentimen agama seperti penggunaan issu kriminalisasi ulama, Presiden Jokowi anak PKI, antek-antek asing dan sederet penghinaan lainnya, harus menjadi pelajaran bahwa dalam aksi 212 yang dimotori oleh kelompok GNPF telah mampu mengintervensi Pilkada DKI Jakarta dan mengganggu dinamika politik dan etika berdemokrasi yang sehat.

Dari sisi hukum, gerakan#2019gantipresiden merupakan pelanggaran nyata terhadap UU Pemilu yang berlaku di Indonesia, bahkan merupakan pelanggaran  terhadap  konstitusi negara. Pasal 7 UUD 1945 menyatakan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya mereka dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Kedua ketentuan hukum tersebut   merupakan amandemen dengan semangat pembatasan jabatan untuk menghindari kesewenang-wenangan yang bisa merugikan masa depan demokrasi. Sedangkan Pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun menjelaskan, syarat menjadi presiden dan wakil presiden adalah belum pernah menjabat di posisi itu selama dua kali masa jabatan untuk jabatan yang sama.  Gerakan #2019gantipresiden seolah mendahului keputusan KPU tentang pemenang dalam Pemilu Presiden tahun 2019 dan membatasi hak politik warga negara untuk menjabat sebagai presiden selama 2 periode.

Gerakan #2019gantipresiden dan Kebangkitan Khilafah

Penulis melihat dampak gerakan ini tidak sesederhana sebagai bagian dari proses demokrasi, me- lainkan ada potensi menuju kebangkitan khilafah HTI. Terlepas dari pro kontra dukung mendukung Jokowi atau tidak, ini adalah gerakan berbahaya dan perlu di tolak demi persatuan bangsa dan negaro. Kita akan lihat fitik-titik potensi itu bisa ter- wujud.

Mungkin banyak orang mengatakan bahwa menuduh gerakan 2019 ganti presiden se- bagai pintu masuk khilafah adalah ilusi, ngawur dan tidak berdasar sama sekali. Tentu sangat dimengerti, karena dalam sejarahnya dari Ikhwanul Muslimin-Hizbut- tahrir sampaí PKS dan HTI di Indonesia banyak berpolemik terkait khilafah Islamiyyah dan penerapan syariat Islam,  berbeda dengan HTI yang enggan terlibat secara langsung dalam proses politik dalam sistem demokrasi seperti Pemilu, Ikhwanul Muslimin cenderung menerima pembauran politik di tiap negara dan membentuk partai politik seperti di Turki lewat AKP, di  Palestina lewat HAMAS, Yordania dengan Islamic Action Front (IAF), Al-Jazair dengan the Front Islamique Du Salut (FIS), Malaysia dengan Pan-Malaysian Islamic Party (PAS). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak pernah secara resmi mengakui pengaruh Ikhwanul Muslimin, namun sejumlah pihak -misalnya salah seorang pendiri PKS Dalam soal konsep Khilafah dan Syariah, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir berseberangan. Pertentangan ini biasanya berujung pada konflik dan debat di antara mereka. Di Indonesia, langkah moderat dan kompromis terhadap demokrasi yaitu almarhum Yusuf Supendi. dilakukan PKS biasanya menuai kritikan dari HTI. Begitupun sebaliknya, orang-orang tarbiyah acap kali menyindir mimpi Khilafah para sya bab HTI yang di- anggap terlalu utopis.

Misalnya, pada Majalah Sabili No. 21 TH XVIl 13 Mei 2010/28 Jumadil Awal 1431 H, halaman. 50-57 terpampang tulisan dengan judul: “Menguak Hizbut Tahrir. Tulisan itu cukup membuat merah kuping kader-kader HTI. Sabili adalah majalah salah satu corong gerakan tarbiyah di Indonesia. Kepentingan politik praktis dan banyak lagi masalah lainnya. Segala polemik perbe-wu daan tersebut seakan sirna setelah kader keduanya bertemu dalam “forum besar jalanan” aksi bela Islam 411 dan 212 dengan semangat bela Al-Quran dan Penja-me rakan Ahok. Puncaknya HTI dijerat dengan Perppu No. 2 tahun 2017 tentang pembubaran ormas. Berbondong-bondong massa Islam pro 212 merapat membela HTI. Terciptalah common enemy, musuh bersama umat Islam, yaitu pemerintahan Jokowi. Dalam setiap aksi mereka bersama ormas-ormas 212 menggunakan diksi ‘”Jokowi anti Islam, Jokowi kriminalisasi ulama, Kriminallsasi aktifis Islam, Jokowi diktator, menolak khilafah menolak Islam,” dll. Semangat anti pemerintah yang dilandasi dan dilegalisasi dengan dogma-dogma Islam terus menerus diteriakkan di berbagai media. Ide khilafah HTI menjadi terakomodir dalam setiap forum 212 ini. Tokoh-tokoh 212 mulai dari Amin Rais, HRS hingga ulama simpatisan Ust. Abdul Shomad mendukung dengan ungkapan “Khilafah bagian ajaran Islam. Walaupun dengan maksud pengertian yang berbeda. Ditambah dengan materi kritikan yang sama seperti isu PKI utang negara, menjual asset negara, tenaga kerja asing, pro-asing, ekonomi melemah dan banyak lagi isu yang dibuat-buat terkait kegagalan Jokowi. Sampai HTI resmi bubar, exs. kader dan pengurus HTI tidak jarang hadir bertemu di forum-forum 212 seperti Aksi Bela Palesti- na, Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) dan bisa jadi forum tertutup. Terakhir, terlihat tokoh HTI Ismail Yusanto terlibat dalam ijtimak Ulama dan Tokoh Nasional yang dilaksanakan di Hotel Paninsula Jakbar 27-29 Juli 2018. Ucapan selamat HT kepada pertemuan 600 ulama tersebut ter pampang nyata dalam tulisan besar di depan gedung hotel.

Seperti dikutip merdeka.com (27/7), Ismail Yusanto tidak menepis kedatangannya untuk merapatkan barisan guna mewujudkan ganti Presiden di 2019. Terlebih, dia menilai presiden baru dibutuhkan karena pemerintahan saat ini menerbitkan Perppu Ormas. Lewat Perppu Ormas, HTI diketahui dibubarkan. “Bahkan kita lebih tegas mengatakan jangan pilih Presiden yang menerbitkan Perppu Ormas, bahkan membubarkan ormas,” jelas Ismail.

Di forum ulama yang katanya dikomando langsung Imam Besar Habib Rizieq Shihab dari Mekah itu, tujuannya jelas mencari sosok Capres-Cawapres 2019. Mendukung Koalisi Keumatan dan Kebangsaan dimana PKS ada di dalamnya. Tidak sedikit “ulama-ulama” PKS terlibat aktif dan tidak heran jika petinggi PKS, Habib Salim Segaf Al-Jufri, terpilih sebagal rekomendasi cawapres pendamping Prabowo. Gerakan 2019 ganti presiden mendapat tambahan suntikan energy untuk bergerak dengan mengadakan deklarasi di wilayah-wilayah lain. Hal ini secara tidak langsung tentu saja dianggap sebagai mencuri start kampanye.

Terlepas dari segala analisa yang belum terjadi. Sekarang, gerakan 2019 ganti presiden yang marak itu secara jelas sudah menciderai demokrasi dan persatuan bangsa. Dengan dalih konstitusional, kampanye mereka tidak henti menggunakan kata-kata provokatif. Dibutuhkan sikap yang selektif dalam memaknai sebuah gerakan karena jika dilakukan secara asal-asalan akan menimbulkan dampak yang sangat fatal bagi kehidupan bangsa menciptakan disharmoni sosial, dan  sikap sikap intoleran serta mengancam idiologi negara yaitu Pancasila. Menginginkan jabatan sebagai Presiden adalah suatu hal yang lumrah, namun janganlah menggunakan upaya-upaya yang kotor, termasuk dengan menggunakan sentimen issu SARA dan membuat makar, pertahankan semboyan sebagai bangsa yang beradab dan berbhineka. Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.

Oleh :  Muhammad Afifudin, Lc  (Peneliti pada Pusat Kajian Politik dan Peradaban NTB)